Saturday 28 June 2014

Banyak orang tua  mengatakan kalau anak-anaknya malas dan tidak mau disuruh belajar, maunya maiiiiiin saja dan nonton tv. Orang tua harus tarik urat kalau menyuruh anaknya belajar. Tapi di sisi lain justru bisa dilihat kalau anak masa sekarang justru lebih banyak belajar dibandingkan dengan masa kanak-kanak saya, misalnya. Sekolah-sekolah untuk anak-anak ada yang sudah dimulai dari anak umur 1,5 tahun (walaupun sekolah usia ini tentunya belum mulai belajar). Banyak TK yang menekankan kurikulumnya untuk mengajar anak membaca, menulis dan berhitung, bukan lagi sekedar bermain-main. Anak-anak SD bersekolah dengan waktu sekolah yang lebih panjang. Pulang sekolah anak masih mengikuti bermacam-macam les, misalnya kumon, sempoa, super brain, balet, piano  dan komputer. Selain untuk sekolah dan les, anak-anak juga masih perlu waktu untuk mengerjakan PR, mandi, makan dan istirahat (tidur). Jadi kapan dong waktu anak-anak bermain?  Jadi sebenarnya, apakah anak-anak memang malas belajar atau mereka kurang waktu bermain? Orang tua sekarang ini seringkali cukup ambisius terhadap anak-anaknya, mereka ingin anaknya sepintar mungkin, dan diwujudkan dengan mengikutkan anak pada berbagai macam les. Tidak salah kalau orang tua berharap anak sepintar mungkin, tapi kebutuhan anak untuk bermain jangan diabaikan, karena bermain adalah hal yang penting buat anak.

Apakah bermain itu?
Bermain tentunya merupakan hal yang berbeda dengan belajar dan bekerja. Menurut Hughes (1999), seorang ahli perkembangan anak, harus ada 5 unsur di bawah ini dalam suatu kegiatan yang disebut bermain
  1. Tujuan bermain adalah permainan itu sendiri dan mendapat kepuasan karena melakukannya (tanpa target), bukan untuk misalnya mendapatkan uang.
  2. Dipilih secara bebas. Permainan dipilih sendiri, dilakukan atas kehendak sendiri dan tidak ada yang menyuruh atau pun memaksa.
  3. Menyenangkan dan dinikmati.
  4. Ada unsur khayalan dalam kegiatannya.
  5. Dilakukan secara aktif dan sadar.
Di luar pendapat Hughes, ada ahli-ahli yang mendefinisikan bermain sebagai  apapun kegiatan anak yang dirasakan olehnya menyenangkan dan dinikmati (pleasurable and enjoyable). Bermain dapat menggunakan alat (mainan) ataupun tidak. Hanya sekedar berlari-lari keliling di dalam ruangan, kalau kegiatan tersebut dirasakan menyenangkan oleh anak, maka kegiatan itu pun sudah dapat disebut bermain.

Apakah bermain penting?
Papalia (1995), seorang ahli perkembangan manusia mengatakan bahwa anak berkembang dengan cara bermain. Dunia anak-anak adalah dunia bermain. Dengan bermain anak-anak menggunakan otot tubuhnya, menstimulasi indra-indra tubuhnya, mengeksplorasi dunia sekitarnya, menemukan seperti apa lingkungan yang ia tinggali dan menemukan seperti  apa diri mereka sendiri. Dengan bermain anak-anak, menemukan dan mempelajari hal-hal/keahlian  baru (dan belajar {learn} kapan harus menggunakan kemampuan tersebut) serta memuaskan apa yang menjadi kebutuhannya (need). Lewat permainan, fisik anak akan terlatih, kemampuan kognitif dan kemampuan  berinteraksi dengan orang lain akan berkembang.

Apa untungnya kalau anak bermain?
Membaca uraian tentang pentingnya bermain, orang tua mungkin berpikir hal-hal tersebut di atas bisa didapatkan anak dengan cara belajar (study). Malah dengan belajar anak bisa pintar, kalau main terus-terusan anak tidak bisa pintar. Pendapat ini ada benarnya juga, terutama jika kepintaran hanya berhubungan dengan kemampuan akademis seperti membaca, menulis dan berhitung. Tapi dalam kehidupan sehari-hari, kepintaran bukan hanya sekedar membaca, menulis dan berhitung, dan juga kemampuan akademis bukan satu-satunya hal yang penting dan dibutuhkan. Ada hal lain yang penting dan dibutuhkan, misalnya kemampuan berkomunikasi, memahami cara pandang orang lain dan bernegosiasi dengan orang. Hal-hal tersebut tidak bisa didapatkan dengan belajar. Perasaan senang, menikmati, bebas memilih dan lepas beban karena tidak punya target, juga tidak bisa didapatkan dari kegiatan belajar.
Ketika bermain, anak berimajinasi dan mengeluarkan ide-ide yang tersimpan di dalam dirinya. Anak mengekspresikan pengetahuan yang dia miliki tentang dunia dan kemudian juga sekaligus bisa mendapatkan pengetahuan baru, dan semua dilakukan dengan cara yang menggembirakan hatinya. Tidak hanya pengetahuan tentang dunia yang ada dalam pikiran anak yang terekspresikan lewat bermain, tapi juga hal-hal yang ia rasakan, ketakutan-ketakutan dan kegembiraannya. Orangtua akan dapat semakin mengenal anak dengan mengamati ketika anak bermain. Bahkan lewat permainan (terutama bermain pura-pura/role-playing) orangtua juga dapat menemukan kesan-kesan dan harapan anak terhadap orang tuanya dan keluarganya. Bermain pura-pura menggambarkan pemahamannya tentang dunia dimana ia berada.
Kreativitas anak juga semakin berkembang lewat permainan, karena ide-ide originallah yang keluar dari pikiran anak-anak, walaupun kadang-kadang terasa abstrak bagi orang tua.
Tidak hanya orang tua yang mengalami stres, anak-anak juga bisa. Stres pada anak dapat disebabkan oleh beban pelajaran sekolah dan rutinitas harian yang membosankan. Bermain dapat membantu anak untuk lepas dari stres kehidupan sehari-hari.

Jadi apakah anak saya masih perlu bermain?
Tentu saja sudah jelas jawabannya bahwa anak perlu bermain. Mungkin yang dikhawatirkan orang tua adalah kalau anak terlalu banyak bermain dan tidak mau belajar. Kembali kepada ilustrasi awal, yang perlu dipastikan adalah apakah anak masih punya waktu bermain, setelah kegiatan belajar yang padat. Kalau memang sebenarnya anak punya waktu bermain, lalu berlanjut terus hingga tidak mau belajar, maka masalahnya adalah bagaimana kita memotivasi anak agar mau belajar. Hal memotivasi anak belajar tidak akan dibicarakan dalam artikel ini.
Saran bagi orang tua :
  1. Pastikan dalam jadwal kesibukan anak sehari-hari, masih terdapat waktu luang yang cukup untuk anak bermain.
  2. Sesekali ikut bermain bersama anak, pahami dirinya, kegembiraan, ketakutan dan kebutuhannya. Siapa tahu setelah itu tidak lagi menjadi orang tua yang terlalu ambisius.
  3. Mendukung kreativitas permainan anak, sejauh apa yang diperbuat anak dalam permainan bukanlah perbuatan yang kurang ajar, tidak merugikan, menyakiti dan membahayakan diri sendiri dan orang lain.
  4. Membimbing dan mengawasi anak dalam bermain, tapi tidak over-protective. Anak mungkin tidak tahu kalau apa yang dilakukannya dalam permainan adalah perbuatan yang salah, karena itu mereka perlu dibimbing. Tapi jangan bersikap over-protective sampai menghalangi kebebasannya. Misalnya, kalau anak bermain lari-larian dan pernah terjatuh adalah wajar, jadi tidak perlu melarang anak bermain lari-lari karena takut anak jatuh. Tapi kalau anak mengebut ketika bermain sepeda, tentunya perlu dilarang karena berbahaya.
Sekalipun dunia bermain adalah dunia anak-anak, tapi anak membutuhkan peran orang tua untuk dapat berada dalam dunianya itu secara aman dan nyaman.  Dengan bermain, tidak hanya anak merasa senang dan bahagia ketika melakukannya; tapi dengan bimbingan yang tepat dari orang tua, potensi diri anak juga dapat berkembang, anak dapat menjadi pintar lewat sarana permainan. Anak senang dan orang tua bahagia.

Daftar pustaka
Hughes, Fergus. (1999). Children, Play and Development. Boston.
Papalia, Diane E. (1995). Human Development. New York: McGrwa-Hill Inc.

0 komentar:

Post a Comment